Senin, 11 April 2016

#6 nguliahi?

Beberapa waktu lalu gue sempet ngobrol sama mahasiswa gue tentang dilema yang gue rasain selama ngajar di kelas. Secara pribadi gue gak suka cara yang gue terapkan: ngasi ceramah, ngajak diskusi, ngasi tugas mingguan atau minta mereka presentasi tugas. Gue ngerasa kalo metode kayak gitu lebih pantas gue terapkan di level anak sekolahan.
Sebenarnya gue lebih senang kalo sebelum gue masuk kelas mahasiswa udah punya bahan tentang materi kuliah sehingga proses yang terjadi di kelas lebih didominasi diskusi multi arah, bertukar informasi atau malah adu argumen. Proses kuliah yang kayak gini harusnya terjadi dalam kelas di level perguruan tinggi. Proses yang mengarah pada upaya mahasiswa menginternalisasi materi yang mereka peroleh dari berbagai sumber. Proses yang memaksa mereka mampu berfikir ilmiah. Proses yang mendorong mereka mampu mecahin masalah yang secara nyata terjadi di masyrakat.
Tapi, ibarat pepatah (ehm...) Jauh panggang dari api. Harapan gue tentang proses kuliah yang ideal tadi gak pernah bisa terwujud. Entah kenapa sebagian besar mahasiswa tiba-tiba berubah jadi kayak cewek lagi PMS saat perkuliahan dimulai. Paling cuma 1 atau 2 orang yang antusias banget saat gue minta pendapat. Awalnya gue kira situasi kayak gitu cuma terjadi di kelas gue (yang artinya gue gak bisa ngajar). Ternyata rekan-rekan gue sesama dosen juga ngeluhin hal yang sama: mahasiswa mereka lebih mirip anak SMP yang nunggu dikasi materi sama gurunya!
Belum lagi soal kebiasaan mahasiswa ngegosip di kelas (serius! Gue sering denger mereka ngegosip) saat awal perkuliahan. Gue juga heran kenapa setiap mau mulai perkuliahan, mereka masih aja ngobrol hal-hal gak penting. Padahal mereka bisa ngegosip sebelum masuk kelas atau pas kuliah udah kelar. Kondisi kelas kayak gini akhirnya memaksa gue menerapkan sistem kuliah gaya lama: Ceramah full 2 SKS karena kalo gue nerapkan model kuliah selain ceramah, gue yakin situasi kelas makin kacau.

Semester lalu gue pernah mencoba menerapkan model pembelajaran yang agak berbeda. Waktu itu gue coba model pembelajaran debat. Harapan gue, melalui sistem ini mahasiswa bisa berani menyampaikan atau membantah opini mahasiswa lain berdasarkan data dan fakta. Model pembelajaran debat ini mengharuskan gue membagi kelas menjadi dua kelompok; pro dan kontra terhadap tema yang gue kasi. Setelah gue sampaikan tema debat, gue kasi mereka waktu semenit buat memilih jadi kelompok pendukung atau kelompok yang menentang, hasilnya 90% mahasiswa memilih jadi tim pendukung, jauh dari prediksi gue bahwa bakal ada 2 kelompok yang seimbang. Karena jumlah tim kontra jauh berbeda dengan tim pendukung, akhirnya gue "memaksa" sebagian mahasiswa buat pindah kelompok. Mahasiswa yang gue minta pindah kelompok, melaksanakan instruksi gue dengan terpaksa ikhlas.
Setelah berhasil membagi dua kelompok, akhirnya debat gue mulai, tapi lagi-lagi hasilnya gak sesuai harapan gue. Debat di kelas gue lebih didominasi kelompok pendukung dan tim kontra lebih banyak diem (ngalah). Alasannya, mereka juga dukung tema yang gue kasi sehingga gak ada argumen buat bantah argumen tim pendukung.
Uji coba model debat tadi cuma sedikit dari pengalaman gue mencoba menerapkan model pembelajaran berbasis aktivitas mahasiswa. Sebagian besar penerapan model itu gak maksimal karena mahasiswa gue lebih cenderung pasif.
Belakangan gue baru intropeksi bahwa pasifnya mahasiswa gue bukan mutlak salah mereka karena mahasiswa adalah hasil produk SD, SMP dan SMA. Bisa jadi selama di pendidikan dasar dan menengah mereka kurang dikasi kesempatan buat menyampaikan pendapat, kritik atau saran dalam proses pembelajaran sehingga kebiasaan ini tertanam dan dibawa sampai bangku kuliah.
Meskipun setiap model pembelajaran selain ceramah yang gue terapkan berujung pada kegagalan, bukan berarti gue harus menyerah. Gue yakin, mahasiswa gue cuma belum terbiasa dengan gaya belajar di tingkat perguruan tinggi. 
Gue ingat kata Buya Hamka bahwa tugas guru bukan bikin siswa jadi pintar, tapi harus menjadi teladan yang baik agar bisa ditiru sama siswanya. Artinya, kalo gue pengen mahasiswa gue jadi orang yang aktif, gue sendiri harus bisa menunjukkan semangat yang tinggi saat ngajar karena kalo gue menyerah saat mendidik mereka sama aja gue mengarahkan mereka ke jurang kebodohan.